Perseroan Terbatas memainkan peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, hal ini dikarenakan mayoritas pendapatan Negara melalui sektor pajak, disumbangkan perseroan terbatas, dimana mayoritas pendapatan pajak tersebut disumbangan dari perseroan terbatas tertutup, yang tak hanya itu, perseroan tebatas juga menyumbangkan peran strategisnya melalui penyerapan tenaga kerja, transfer ilmu dan teknologi serta pembentukan etos kerja berdaya saing tinggi. Sehingga oleh karenanya patutlah perseroan terbatas diposisikan sebagai aset bangsa dalam menopang pertumbuhan kesejahteraan nasional, yang patut dijaga secara hukum kestabilan “nilainya” dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Melihat kontribusi nyata yang disumbangkan perseroan terbatas, sangat ironi jika melihat bagaimana penerapan hukum perseroan terbatas di Indonesia, khususnya pada penerapan hukum yang berhubungan dengan saham perseroan terbatas tertutup dan penerapan hukum saham perseroan terbatas non bursa efek atau saham perseroan terbatas terbuka yang tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia, jika dilihat dari asas kepastian hukum.
Sebagaimana dipahami, nilai suatu perseroan terbatas ditentukan oleh asset perseroan baik yang bersifat bergerak dan maupun yang bersifat tidak bergerak, seperti portofolio bisnis perseroan, yang kemudian asset perseroan tersebut dikonversi dalam bentuk jumlah saham yang tercatat dalam akte pendirian dan perubahan perseroan, sebagai tanda milik yang merepresintasikan besaran bagian asset para pemilik perusahaan tersebut, sehingga besaran persentasi saham dapatlah diartikan sebagai besaran persentasi asset yang dimiliki seseorang atau badan hukum dalam suatu perseroan, yang berarti saham dalam perseroan terbatas memiliki nilai yang disejajarkan lebih kurang sama dengan nilai asset perseroan.
Terhadap saham perseroan terbatas tertutup dan saham perseroan terbatas non bursa efek atau saham perseroan terbatas terbuka yang tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia, hingga kini belum ada mekanisme yang dapat memberikan kepastian hukum penjaminan saham tersebut. Jika saham jenis tersebut digadaikan pada kreditur, maka sesungguhnya hanya ada mekanisme tunggal, yaitu melalui penjanjian gadai, tanpa ada lembaga yang secara hukum dapat mencatat dan memberikan kepastian hukum agar selama dalam proses gadai, debitur tidak dapat mengalihkan saham yang digadaikannya kepada pihak lain.
Tidak adanya lembaga yang dapat mencatat dan memberikan kepastian hukum, agar saham tersebut tidak dapat dialihkan oleh debitur kepada pihak lain, telah membuat banyak saham yang digadaikan kepada kreditur, dialihkan oleh debitur tanpa sepengetahuan kreditur, sehingga jika terjadi perkara, kreditur yang beritika baik menjadi dirugikan, mengingat umumnya pengalihan tersebut melibatkan pembeli yang beritikat baik, sehingga kini banyak menimbulkan sengketa hukum terhadap suatu pristiwa penjaminan saham perseroan terbatas tertutup dan saham perseroan terbatas non bursa efek atau saham perseroan terbatas terbuka yang tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia, atas suatu hutang, yang pada akhirnya membuat banyak kreditur beritikat baik yang dirugikan, seperti kasus PT Aryaputra Teguharta (APT), dalam sengketa gadai saham melawan PT BFI Finance, Tbk (BFI).
Hal ini berbeda dengan penjaminan saham perseroan terbatas terbuka yang diperdagangkan di bursa efek Indonesia, dimana terhadap saham perseroan terbatas terbuka yang sahamnya di perdagangkan di Bursa Efek Indonesia, jika saham tersebut dijaminkan atas suatu hutang, terdapat mekanisme yang dapat memberikan kepastian hukum, yaitu melalui bantuan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dimana pada saham-saham yang masih berbentuk lembaran, pelepasan penguasaan debitur atas saham mudah dilakukan, yaitu dengan menyerahkan lembaran saham tersebut kepada penguasaan kreditur atau pihak ketiga. Namun, untuk saham-saham tanpa warkat (scriptless) maka pelepasan penguasaan debitur atas saham yang digadaikan dapat dilakukan melalui Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Apabila saham telah scriptless (tanpa warkat), dimana pada saat ini umumnya saham-saham yang diperdagangkan telah berbentuk scriptless, dan pemegang saham sudah tidak lagi memegang saham dalam bentuk fisik lembaran saham, dimana bukti kepemilikan saham yang dimilikinya tidak berupa lembaran saham secara fisik, namun berupa rekening saham yang dimiliki melalui Perusahaan Efek, Bank Kustodian, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka saham-saham yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut dicatatkan atas nama pemegang saham dalam catatan rekening yang terpisah dari keuangan Perusahaan Efek. Perusahaan Efek kemudian menitipkan saham tersebut atas nama Perusahaan Efek yang bersangkutan pada Bank Kustodian, kemudian Bank Kustodian menitipkan saham tersebut ke Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (yang dalam hal ini di Indonesia dijalankan oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia/KSEI). Rekening yang dititipkan oleh Bank Kustodian di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ini, tercatat atas nama Bank Kustodian yang bersangkutan sebagai wakil substitusi Perusahaan Efek yang mewakili pemegang saham. Selanjutnya, berdasarkan rekening saham yang terdapat pada tiga lembaga tersebut, Emiten mencatatkan kepemilikan saham atas dirinya melalui Biro Administrasi Efek, kemudian bukti rekening itulah yang dijadikan sebagai bukti bahwa si pemegang saham memiliki saham-saham di suatu Emiten. Hal ini sebagaimana mengacu pada aturan gadai saham Kepdir KSEI No.: KEP-012/DIR/KSEI/0807 tentang Perubahan Peraturan Jasa Kustodian Sentral (“Kepdir KSEI”) tanggal 9 Desember 2009, serta aturan tentang gadai dalam KUHPer. Dalam Kepdir KSEI soal gadai saham diatur di bawah butir 2.2. tentang Administrasi atas Efek yang Diagunkan. Butir 2.2.1. Kepdir KSEI berbunyi:
“Pemegang rekening dapat mengagunkan Efek dalam Rekening Efeknya sebagai agunan utang, dengan mengajukan permohonan agunan Efek secara tertulis kepada Kustodian Sentral Efek Indonesia. Setiap permohonan untuk mengagunkan Efek harus memuat keterangan antara lain: jumlah, jenis Efek, pihak yang menerima agunan dan persyaratan agunan lainnya.
Hal ini kemudian yang membuat penggadaian saham perseroan terbatas terbuka yang diperdagangkan di bursa efek Indonesia tidak dapat dialihkan oleh debitur pada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur. Kondisi ini pula yang membuat pasar modal terhadap saham perseroan terbatas terbuka yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek Indonesia menjadi bergairah, sedangkan pristiwa hukum bisnis terhadap saham perseroan non bursa efek Indonesia menjadi tidak bergairah, dan lebih dari pada itu, membuat kalahnya bersaingan secara nilai perseroan terbatas tertutup dengan perseroan terbatas terbuka.
Melihat hal ini, sejatinya pemerintah perlu membuat suatu badan atau setidaknya dapat menugaskan Dirjen Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM untuk dapat melakukan pencatatan proses penjaminan saham perseroan terbatas non bursa, dengan suatu mekanisme yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap penjaminan saham tersebut, atau dalam kekosongan hukum ini, pengadilan dapat mengunakan wewenangnya melakukan trobosan hukum yang dapat mengurai persoalan ini. Hal ini sejatinya sangat perlu dilakukan, mengingat saham yang seharusnya memiliki nilai material, kini hampir tidak memiliki nilai material, yang tentunya kondisi ini secara makro mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Penulis : Haryo Budi Wibowo, S.H.,M.H
Haryo Wibowo & Partners