Pasca diberlakukan Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), istilah kewenangan menjadi sangat umum digunakan dalam hukum pidana. Hal ini tak lain dan tak bukan, karena masuknya norma kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK, yang mengatur bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
14 tahun pasca dibentuknya Undang-Undang 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK), dimana kini sebagaimana diketahui bersama tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana yang begitu “membuming” di masyarakat, mengingat pendekatan yang begitu massif dilakukan penegak hukum khususnya KPK dalam mengunakan metode penindakan pada penegakan hukum yang dilakukannya. Telah membawa era baru terminology kewenangan dalam dunia hukum pidana.
Pandangan mayoritas masyarakat kini kepada lembaga penegak hukum, yang menilai seolah prestasi lembaga penegak hukum hanya diukur dari banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang ditanganinya, baik KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, maupun BPK dan BPKP, secara tidak sadar telah memaksa lembaga penegak hukum berlomba-lomba membawa tersangka tindak pidana korupsi ke persidangan, yang “parahnya” dikarenakan kepada para tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi kini terlanjur melekat suatu “stigma” seolah pasti bersalah, telah membuat banyak proses hukum pada kasus tindak pidana korupsi hanya bersifat formalitas tanpa mencari kebenaran materil yang sesungguhnya, hanya untuk agar tidak dihujat masyarakat pro kepada tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi, sehingga timbul suatu pertanyaan, apakah begitu mudahnya kini seseorang dapat dikriminalisasikan melakukan tindak pidana korupsi?
Beberapa teori kewenangan yang umum digunakan penegak hukum dalam menjerat terdakwa adalah teori kewenangan yang dikemukaan oleh Ferrazi, bahwa “kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu”
Teori ini mendasarkan pada unsur : 1) Kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, 2) yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) 3) atau suatu urusan tertentu.
Dalam beberapa putusan pengadilan tindak pidana korupsi, seorang terdakwa dinyatakan bersalah, dianggap terbukti melanggar Pasal 3 UUPTPK, karena tidak melakukan “pengawasan” sebagaimana merujuk pada teori kewenangan Ferrazi. Sebagai contoh kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Mantan Menteri pemuda dan Olah raga Andi Alfian Malarangeng, dimana dalam salah satu pertimbangannya, Andi Alfian Malarangeng dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 UUPTPK, dan demikian juga terhadap mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang dalam putusan salah satu terpidana, Siti Fadilan Supari diduga terlibat karena tidak melakukan pengawasan sebagaimana teori Kewenangan Ferraze, yang membuatnya dinyatakan melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur Pasal 3 UUPTPK.
Teori ini terlalu mengeneralisir pengertian kewenangan, khusunya mengenai kewenangan pengawasan, dimana sebagaimana diketahui bersama, kini fungsi pengawasan dalam suatu organisasi modern tidak melekat pada pelaksana eksekutif kebijakan, yang jika melihat bagaimana organisasi Kementerian yang ada di Indonesia, fungsi pengawasan ada pada Inspektorat dan tidak ada pada pejabat eksekutif Kementerian, seperti Menteri, Sesmen atau pun Dirjen.
Tidak mengaturnya unsur-unsur pembagian kewenangan dalam dalam teori ini, dihubungkan dengan Pasal 3 UUPTPK, telah membuat kewenangan mengenai pengaturan, pengurusan dan pengawasa diartikan menjadi suatu yang melekat pada seseorang penyelenggara Negara, yang membuat mudahnya penyelenggara Negara dipersalahkan secara hukum dalam perkara tindak pidana korupsi.
Penulis : Haryo Budi Wibowo, S.H.,M.H
Haryo Wibowo & Partners