Pasca diberlakukan Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, dan UU No. 30 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kini tindak pidana korupsi menjadi suatu tindak pidana yang sangat popular di masyarakat. Hal ini karena pasca lahirnya undang-undang tersebut, penindakan tindak pidana korupsi kian massif dilakukan penegak hukum. Dahulu ketika delik tindak pidana korupsi masih diatur dalam KUHP, hampir tak terdengar perkara tindak pidana korupsi yang tengah diusut penegak hukum.
Banyak pergeseran norma yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang dahulu tidak diatur dalam KUHP, telah membuat makna tindak pidana korupsi menjadi lebih luas. Terdapat beberapa norma/delik dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang dahulu tidak diatur dalam KUHP, kini menjadi diatur/dilarang oleh UU Tindak Pidana Korupsi. Sebagai contoh “Gratifikasi” dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimana dahulu perbuatan ini dianggap bukanlah suatu kejahatan, sehingga tidak diatur dalam KUHP.
Merefleksi kondisi sosial masyarakat Indonesia ketika dalam kerajaan-kerajaan Nusantara, dimana ketika itu prilaku masyarakat Nusantara sangat familiar dengan ucapan terima kasih yang diiringi dengan pemberian sesuatu yang berharga dan bernilai terhadap orang yang dianggapnya berjasa dalam kehidupannya, yang secara social macro mengakar dalam kehidupan masyarakat Nusantara dan telah menjadi tradisi dan budaya, ketika itu telah membuat Kerajaan Belanda memerintah tidak melarang budaya lokal tersebut. Tidak dilarangnya budaya tersebut secara nyata dan mudah ditelusuri, tercermin ketika pemerintah Belanda di Nusantara menerbitkan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, yang pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918, yang setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie atau yang kemudian dikenal dengan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetap diberlakukan namun disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, Pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian menjadi dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indiemenjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan “Suap” sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi dahulu dalam KUHP bukanlah dianggap suatu kejahatan besar. “Suap” kepada pejabat dalam KUHP diatur dalam Pasal 209 dan hanya diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, sehingga praktis secara subyektif tidak dapat dilakukan penahanan dalam proses penyidikan terhadap pelakukanya jika mengacu kepada KUHAP. Sedangkan menurut UU Tindak Pidana Korupsi, “Suap” merupakan kejahatan besar yang dapat dihukum seumur hidup atau penjara 20 tahun.
Selain pasal Gratifikasi dalam UU Tindak Pidana Korupsi, masih banyak pasal yang dahulu tidak diatur dalam KUHP namun kemudian diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian menimbulkan pergeseran nilai-nilai sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tentunya hal ini perlu adanya perhatian serius guna mengawal proses transasi sosial ini secara bijaksana.
Sebagaimana diketahui bersama, penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi kini sangat diwarnai upaya penindakan, padahal jika melihat banyaknya terdapat delik-delik baru yang mengatur larangan pada pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimana ratusan tahun sebelumnya telah menjadi budaya legal di masyarakat kita, maka sepatutnya jika diukur dari UU Tindak Pidana Korupsi yang baru lahir 16 tahun belakangan ini, penegakan UU Tindak Pidana Korupsi haruslah dilakukan dengan bijak dan persuasive dengan mengedepankan upaya pencegahan.
Luasnya makna tindak pidana korupsi dalam UU Tindak Pidana Korupsi kini, sejatinya telah membuat sumir esensi dari tindak pidana korups, sehingga tindak pidana korupsi kini menjadi bias terhadap disiplin hukum lainnya, seperti hukum administrasi Negara dan hukum perdata. Hal ini kemudian membuat banyak terjadi “mall” penegakan hukum dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi, yang seharusnya adalah ranah hukum administrasi Negara dan/ hukum perdata, dipaksakan dan dibuat seolah-olah menjadi pidana. Melihat ironi penegakan hukum tindak pidana korupsi kini, maka seyogyanya penyelenggara Negara, pejabat Negara ataupun pihak-pihak swasta yang berhubungan/bersinggungan dengan keuangan Negara harus memahami aspek hukum tindak pidana korupsi dengan benar dan memahami batasan-batasannya terhadap hukum adminitrasi Negara dan hukum perdata, sehingga tidak menjadi korban “mall” penegakan hukum tindak pidana korupsi atau yang umum dikenal dengan kriminalisasi.
Dalam konteks Pemerintatan Daerah, BUMN dan BUMD, mengingat Pemerintahan Daerah, BUMN dan BUMD merupakan bagian dari sistem keuangan Negara, sehingga merupakan obyek hukum tindak pidana korupsi, maka pejabat Pemerintahan Daerah, BUMN dan BUMD dalam membawa lembaga yang dipimpinnya, harus memahami aspek hukum tindak pidana korupsi dengan benar serta batasan-batasannya terhadap hukum adminitrasi Negara dan hukum perdata. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat penyelenggara negara, yang sejatinya adalah persoalan perdata, atau persoalan adminitrasi Negara, namun dipaksakan menjadi pidana, seperti kasus Syamsul Bahri, pembelian mobil ambulance dari dana bantuan untuk orang miskin dan menggunakan anggaran lain untuk perjalanan dinas Bupati Kabupaten Jeneponto, yang divonis bebas oleh Mahkamah Agung RI.
Penulis : Haryo Budi Wibowo, S.H., M.H
Haryo Wibowo & Partners