Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut Gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Gijzeling dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Paksa badan ditetapkan untuk enam bulan dan dapat diperpanjang setiap enam bulan dengan keseluruhan maksimum tiga tahun. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan.
Walaupun Peraturan Mahkamah Agung RI Tentang Lembaga Paksa Badan telah diterbitkan 15 tahun yang lalu, namun banyak masyarakat dan pelaku bisnis yang belum mengetahui dan memahami peraturan tersebut dengan baik, sehingga kurang begitu mengenai dan memahami Lembaga Paksa Badan (Gijzeling).
Lembaga Paksa Badan dahulu pernah diatur dalam Pasal 209-224 HIR, namun kemudian dibekukan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan No. 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara fisik dan yang sering menjadi korban adalah debitur dari kalangan rakyat yang benar-benar tak mampu melunasi utangnya. Kini dengan diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan, Makhkamah Agung menarik peraturan sebelumnya yang mengatur tentang pembekuan penerapan lembaga Gijzeling sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai gijzeling yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Regelemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) serta Pasal 242 Reglemen Indonesia sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg.), karena dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, sehingga perlu mencabut.
Dengan dihidupkannya kembali Lembaga Paksa Badan, sejatinya hal ini dapat menjadi alternative upaya hukum bagi para pelaku bisnis terhadap debitur yang tidak beritikat baik Terhadap Debitur yang memiliki itikat baik, perlu mamahami bagaimana kewenangan lembaga tersebut dengan baik, sehingga dapat terhindar dari “kriminalisasi” upaya Paksa Badan.
Dalam praktek terjadi benturan filosofi, apakah sandara badan dalam pajak merupakan ranah hukum perdata atau hukum pidana. Mengingat terhadap Sandra badan, secara fakta terjadi pengekangan hak kebebasan seseorang yang sama dengan pengekangan sanksi pidana, yaitu sama-sama dalam kurungan (penjara). Jika sandra badan tidak diterminologikan sebagai penjara, faktanya penerapan paksa badan adalah bentuk pengekangan/pemenjaraan orang dengan syarat pembayaran tunggakan, yang jika mengacu kepada fakta ini, maka dasar hukum penjara terhadap seseorang adalah KUHP dan KUHAP, dimana terhadap seseorang hanya dapat dikenai pidana jika ada putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakannya bersalah hukum. Jika tidak ada, maka tidak boleh ada pengekangan terhadap seseorang seperti pengekangan yang dapat dianalogikan sebagai penjara.
Penulis : Haryo Budi Wibowo, S.H.,M.H.
Haryo Wibowo & Partners