Liberalisasi perdagangan semakin mengembangkan globalisasi ekonomi. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum suatu negara tidak bisa dihindarkan. Globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum suatu negara. Negara yang terlibat terpaksa harus membuat standardisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Bagaimana hukum di Indonesia ?
Liberalisasi perdagangan semakin mengembangkan globalisasi ekonomi. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum suatu negara tidak bisa dihindarkan.
Globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum suatu negara. Negara yang terlibat terpaksa harus membuat standardisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.
Disayangkan Indonesia yang telah menjadi anggota komunitas global ekonomi dunia lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau skala regional yang lebih luas dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), tidak mempunyai produk hukum ekonomi yang minimal sekalipun. Betapa Indonesia ketinggalan dalam bidang hukum ekonomi dibandingkan negara Etiopia.
Bagaimana kondisi hukum bidang ekonomi Indonesia?
Pertama, dalam kebijakan yang berkaitan dengan hukum ekonomi atau hukum bisnis, harus ada kepastian hukum. Selama ini di Indonesia, banyak peraturan perundangan dalam kegiatan ekonomi atau transaksi bisnis yang banyak celah yang dapat dimanfaatkan orang yang punya itikad kurang baik.
Mengapa bisa terjadi? Karena tidak terlepas dari krisis moneter 1997. Kita dibantu Dana Moneter Internasional (IMF) lewat letter of intent. Di situ ada suasana yang memengaruhi hukum ekonomi kita. Ada resep yang diberikan IMF waktu itu untuk pemulihan ekonomi yang tidak pas.
Salah satu contohnya, kita disuruh melakukan privatisasi, tetapi rule of the game, rambu untuk melakukan privatisasi tidak ada. Kita lupa menyiapkan undang-undangnya. Padahal, Etiopia, contohnya, ketika disuruh IMF atau bank dunia melakukan privatisasi, mereka menyiapkan undang-undangnya mana yang boleh, mana yang tidak boleh diprivatisasi dan kriterianya jelas.
Apa yang terjadi dalam hukum bisnis di Indonesia?
Pro-kontra privatisasi BUMN hanya satu contoh bahwa kita tidak punya peraturan atau hukum ekonomi yang memenuhi tiga unsur, stabilitas, prediksi, dan keadilan. Unsur stabilitas, di mana hukum berfungsi mengakomodasi kepentingan yang sedang bersaing. Unsur predictability berarti hukum ekonomi berfungsi meramalkan akibat yang diambil. Apakah itu penting untuk rakyat?
Adakah undang-undang atau peraturan di Indonesia ini yang mengatakan pada kita, atau menyuruh kita meneliti dulu sebelum menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Padahal, harus diingat, pertama kali terjadi privatisasi, tantangan pertamanya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di Indonesia tidak ada aturannya. Tidak ada yang spesifik mengatur itu. Sekarang ada Peraturan Pemerintah tentang privatisasi (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005), namun setelah kita baca tidak ada yang spesifik, mana yang boleh diprivatisasi mana yang tidak. Undang-undang di bidang ekonomi tidak ada yang bisa meramalkan, apakah kalau kita menjual BUMN atau mendatangkan investasi asing, bisa menguntungkan buat kita? Masalah kedua, tidak ada aturan yang menyatakan uang hasil privatisasi harus dibawa ke mana. Apakah untuk mengisi defisit anggaran belanja negara atau mengembangkan perusahaan itu. Seperti Indosat setelah dijual, tidak pernah ada transparansi uangnya digunakan ke mana dan untuk apa. Unsur meramalkan dalam hukum ekonomi juga tidak ada.
Apakah kita benar-benar tidak memiliki undang-undang di bidang ekonomi yang bisa memuat unsur stabilitas, predictability dan fairness?
Baru satu undang-undang di Indonesia ini yang saya lihat bisa memangkas birokrasi, yakni UU No 8/1995 tentang Pasar Modal. Unsur stabilitas dalam UU itu, misalnya, berisi pemangkasan birokrasi. Isinya menentukan jika dalam 45 hari setelah perusahaan mendaftar di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), urusan administrasi selesai atau tidak, dikerjakan atau tidak oleh aparat Bapepam dokumennya, otomatis saham perusahaan itu dapat diperjualbelikan. Adakah perda atau UU yang mengatakan apabila 45 hari setelah investor mengurus investasinya di Indonesia, otomatis dia boleh mengerjakan pabriknya. Ini kan satu UU yang menekankan pemangkasan birokrasi yang di Indonesia sangat berlebihan. Pemangkasan itu pun terjadi baru di investasi portofolio. Di pasar modal. Mengapa UU No 8/1995 itu tidak diterapkan pada undang-undang yang lain.
Ada bahaya besar yang mengancam perekonomian Indonesia dalam masa mendatang jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengabaikan hukum di bidang ekonomi. Guru besar yang lahir di Kotanopan, Mandailing Natal, 29 Maret 1956, ini menuturkan, banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia. “Di pasar yang aturannya sudah jelas saja, tipu-tipunya sangat tinggi,” kata pengajar mata kuliah Hukum Pasar Modal ini.
Kalau seperti ini kondisinya, berarti tidak ada jaminan untuk investor bisa tenang berinvestasi di Indonesia?
Seperti kasus Perusahaan Gas Negara (PGN), yang mengatakan pipa gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat akan tersambung Desember 2006, ternyata tidak selesai sampai Januari 2007. Anehnya, dengan aturan yang sudah jelas saja, Bapepam hanya mengacu pada peraturan Bapepam tentang keterbukaan informasi. Padahal, bukan itu. Bapepam harus mengacu pada pasal 93 UU No 8/1995. Itu sudah jelas penipuan. Ini yang membuat kita bertanya dalam hati. Orang asing kan melihat, PGN yang menipu informasi, cuma dikasih sanksi administrasi. Padahal, melihat kasusnya, tanpa berpikir panjang saya mengatakan itu, bukan peraturan Bapepam yang dilanggar, tetapi pasal 93 UU No 8/1995 tentang penipuan informasi. Sebab, PGN telah berjanji menyelesaikan pembangunan pipa gas itu lewat prospektus. Kalau janji tidak ditepati, apa namanya itu ? Problem yang paling mendasar sebenarnya ada di mana?
Problemnya adalah waktu membuat undang-undang, kita tidak membuatnya dengan baik. Kita tidak membuat naskah akademik, rancangan akademik yang kuat untuk melahirkan suatu undang- undang, apalagi perda.
Seperti sampai hari ini undang-undang tentang investasi belum disahkan. Itu kan karena ada tarik ulur. Padahal, kalau nanti Putaran WTO Doha ditandatangani, tidak ada larangan rumah sakit berikut dokter dari Malaysia membuka praktik di Indonesia. Sekarang saja orang Medan, sudah ke Penang untuk berobat. Nanti, orang Medan enggak perlu lagi ke Penang, karena Rumah Sakit Malaysia dan dokternya datang ke sini. Bagaimana kesiapan kita, untuk kompetitif dengan mereka. Bagaimana kesiapan undang-undang praktik kedokteran, bagaimana kesiapan perda kita.
DPR atau DPRD cenderung kalau melihat persoalan, kemudian langsung diperdakan seperti Undang-Undang Antipornografi yang sebenarnya tidak semendesak undang-undang di bidang ekonomi. Apa persoalannya?
Persoalannya kita tidak mempunyai skala prioritas. Sekarang CGI dibubarkan. Artinya kita harus mencari uang sendiri, kita harus meminta arus modal, datang kemari. Bagaimana kita mendukung pembubaran CGI yang memang diinginkan banyak orang, tetapi kita sendiri di dalam tidak menyiapkan perangkat perundangan dengan baik. Kita meminta orang masuk membawa modal, sementara undang-undang dan perda kita ini satu sama lain masih bertabrakan. Tadi dibilang perda yang penting tidak ada, yang tidak penting malah muncul. Naskah akademik ada dan kajian akademik ada, tetapi setelah digodok DPR, hasilnya tidak sama dengan naskah akademiknya karena undang-undang kan produk politik.
Hukum berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu terdapat adagium “Ibi ius ubi Societas “, (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).
Dalam perkembangan hukum, dikenal dua jenis hukum yaitu: hukum Privat dan hukum Publik. Hukum Privat mengatur hubungan antara orang perorangan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan individu.
Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakal. Perkembangan di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.
Hukum Ekonomi Keuangan merupakan salah satu bagian dari Hukum ekonomi yang salah satu aspeknya mengatur kegiatan di bidang Pasar modal. Pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan.[1] Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur.[2] Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana (pengusaha atau pihak emiten).
Keberadaan pasar modal menyebabkan semakin maraknya kegiatan ekonomi, sebab kebutuhan keuangan (financial need) pelaku kegiatan ekonomi, baik perusahaan‑perusahaan swasta, individu maupun pemerintah dapat diperoleh melalui pasar modal.
Dalam UUPM, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana” (Pasal 103‑ Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang‑Undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana) pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun pelanggaran.
Begitu banyak permasalahan dalam perekonomian di Indonesia, salah satu nya adalah tentang Pasar Modal, banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia termasuk penyimpangan terhadap UU No 8/1995 tentang Pasar Modal, sehingga saya menganbil permasalahan tersebut yaitu “Bagaimanakah pandangan hukum Ekonomi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku‑pelaku ekonomi, yang berkaitan dengan pasar modal, selama ini” ?
Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan‑keinginan hukum (yaitu pikiran‑pikiran badan pembuat undang‑undang yang dirumuskan dalam peraturan‑peraturan hukum) menjadi kenyataan.[3] Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai‑nilai yang terjabarkan di dalam kaedah‑kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor‑faktor tersebut. Faktor‑faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari effektivitas penegakan hukum. Faktor‑faktor tersebut adalah :[4]
1. hukum (undang‑undang).
2, penegak hukum, yakni fihak‑fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870‑1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence, hukum adalah as a tool of social engineering disamping as a tool of social Control
Dalam penegakan hukum ekonomi dalam kegiatan pasar modal, maka diperlukan konsep penegakan hukum yang lain, yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penegakan hukum dalam arti Law Enforcement. Joseph Golstein, membedakan penegakan hukum pidana atas tiga macam yaitu [5]
Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif. Penegakan hukum yang pertama ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana. Disamping itu, hukum pidana substantif itu sendiri memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut dengan area of no enforcement.
Kedua, Full Enforcement, yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi menurut Goldstein hal inipun sulit untuk dicapai (not a realistic expectation), sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, alat-alat dana dan sebagainya yang dapat menyebabkan dilakukannya diskresi
Ketiga, Actual Enforcement, Actual Enforcement ini baru dapat berjalan apabila, sudah terdapat bukti-bukti yang cukup. Dengan kata lain, harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau alat bukti yang lain, serta adanya pasal yang dilanggar.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam arti luas seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari buku Hoefnagels, serta penegakan hukum dalam srti sempit yang lebih ditujukan pada penegakan peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement
Penegakan hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pasar Modal
Bapepam adalah lembaga regulator dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas;
- Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum
- Biro Pemeriksaan dan Penyidikan
- Biro Pengelolaan dan Riset
- Biro Transaksi dan Lembaga Efek
- Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa
- Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
- Biro Standar dan Keterbukaan.
Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam. Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut. Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam. Permasalahan akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.
Demikian pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya pelanggaran yang bersifat pidana, lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.
Kewenangan melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf (b). yang menyebutkan :
“Penyidik adalah aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”
Kewenangan ini merupakan pengejewantahan dari fungsi Bapepam sebagai lembaga pengawas.
Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995. Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila :
1. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal
2. Bila tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan
3. Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal
Di dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut UUPM Nomor. 8 Tahun 1995 bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pelaku ekonomi di pasar modal. Dalam melaksanakan berbagai tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.
Dengan berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal. Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.
Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet. Presss Release yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru dari Bapepam. Selain itu pula, kebijakan untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan (tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.
Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995, separti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal. Dari kasus-kasus pelanggaran perundang-undangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan di Bapepam. Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23, Pasal 105, dan Pasal 109. Untuk jelasnya akan dikutip berikut ini;
Pasal 103 ayat (2)
Pelanggaran pasar modal disini adalah, pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu :
- Seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi tanpa mendapatkan izin Bapepam
- Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah)
Pasal 105
Pelanggaran pasar modal yang dimaksudkan disini adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu :
Menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana.
Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).
Pasal 109
Yang dilanggar disini adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran UUPM
Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan di samping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung jawah moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti melanggar etika menjual produk yang berbahaya. masalah pemberian upah yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh, etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan. Pendeknya semua keputusan bisnis, khususnya yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan, yang mempengaruhi banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menghadirkan masalah etika yang serius. Di dalam kenyataannya etika yang ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan karena tarikan berbagai kepentingan, terutama untuk mencari keuntungan, tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis. Oleh karenanya, standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan sanksi. Disinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu hukum juga sepanjang sejarahnya bersumber pada dan mengandung nilai-nilai moral
Masa datang ini perlu memberikan prioritas pada Undang-Undang yang berkaitan dengan
akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis. Optimalisasi sumber pembiayaan pembangunan memerlukan pembaruan Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pasar Modal. Indonesia juga harus menerapkan Undang-Undang “money laundering” dengan konsekuen, antara lain untuk memberantas kejahatan narkotika dan korupsi. Ekonomi pasar yang didominasi oleh aktivitas pasar yang illegal akan tidak menjadi efisien, dan cenderung akan mendorong ketidak adilan dan pemerasan.
Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan
Peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan.
Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali di amandemen;
2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif);
3. Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan ekonomi.
Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan.
Tentu saja sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya. Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para ahli dan pelaku ekonomi sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan ekonomi saja
Hukum Sebagai Sistem
Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang – undang saja.
Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.
Maka sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.